Anak Keluarga Tidak Mampu Ini, Kini Jadi Dosen Di Inggris
Jika berangkat sekolah terlalu pagi, pasti saya akan melihat teman saya satu ini. Kami memanggilnya Combat. Ya, Combat karena perawakananya seperti tentara. Biasanya saya sering melihatnya ketika berangkat sekolah. Saya jalan kaki bersama sahabat-sahabat saya, sedangkan Combat ngonthel sepeda ‘onta’nya. Kadang saya melihatnya ketika sedang memarkirkan sepeda ontanya.
Jaman saya sekolah, anak-anak yang rumahnya dekat sekolah, biasanya jalan kaki. Sementara yang rumahnya di dalam kota tetapi jauh dari sekolah biasanya antar jemput orangtuanya. Hanya beberapa yang membawa sepeda motor dan sebagian besar naik sepeda onthel. Bagi yang berasal dari luar kota, biasanya kos atau naik angkutan umum.
Namun, si Combat ini tidak naik angkutan umum meski rumahnya di luar kota. Dari sekolah saya yang berada di pinggiran kota Lumajang ke Desa Kunir jaraknya sekitar 15 km. Jadi tiap hari menuju ke sekolah dia ngonthel total jaraknya bisa sampai 30 km. Supaya tidak terlambat, dia berangkat pagi-pagi ke sekolah. Tidak lupa selalu membawa bekal dari rumahnya. Jadi selama sekolah, si Combat ini membawa dua tas. Satu tas untuk sekolah dan satu tas lagi, seingat saya warnanya merah dan putih, berisi makanan.
Kebiasaannya yang ngonthel jarak jauh dan membawa bekal makanan ke sekolah mengundang tanya teman-temannya termasuk saya. Dari hasil investigasi teman-teman saya, ternyata dia anaknya orang tidak punya. Makanya dia tidak jajan di kantin dan memilih membawa bekal dari rumah, karena rupanya dia berasal dari keluarga tidak mampu.
Meski ngonthel jarak jauh setiap hari, tidak membuat otaknya ‘dodol’. Di semester satu kelas satu, si Combat masuk 10 besar nilai terbaik seangkatan kami. Ini terus berlanjut hingga di akhir sekolah. Jadi dia memang langganan ranking di angkatan kami.
Selepas SMA, dia diterima di Jurusan Matematika ITB. Ada yang menarik ketika masa-masa UMPTNnya. Dia lolos UMPTN tanpa ikut kursus dan dia ambil tes bukan di Bandung, tetapi di kota Jember. Karena Jember lebih dekat dengan Lumajang. Padahal, terdengar kabar kalau tidak ambil tes di Bandung, kemungkinan lolosnya kecil. Kabarnya ujian di rayon C (Jawa Timur) lebih mudah dibandingkan soal ujian UMPTN di rayon A (Jakarta & Jabar). Jadi jika ambil tes di Rayon C, berarti harus mendapatkan nilai lebih tinggi. Tetapi si Combat nekat ambil UPMTN di Jember. Itupun dia hampir menyerah tidak ikut UMPTN karena tidak ada biaya. Beruntung keluarga tetap mendukung meski kondisi ekonominya tidak karuan.
Setelah itu, saya tidak pernah tahu kabar si Combat. Saya sendiri melanjutkan kuliah di Surabaya. Hingga akhirnya saya menemukan namanya ketika saya sedang berjuang mendapatkan satu literatur untuk Tugas Akhir saya. Benar-benar tidak disangka, dia posisinya sudah di Belanda. Ya, Si Combat waktu itu sedang menyelesaikan tugas akhirnya di Belanda.
Mengerjakan Tugas Akhir di Belanda? Katanya kuliah di ITB? Yang mana yang benar?
Ceritanya, di Combat ketika kuliah di ITB prestasinya bagus. Hingga dia bisa menyelesaikan kuliahnya dengan cepat dan semester 6 dia maju ke dosennya untuk mengusulkan penelitian Tugas Akhir yang akan dia lakukan. Merasa dia tidak punya banyak uang, dia ingin segera lulus kuliah biar bisa bekerja dan meringankan beban orangtuanya. Tapi rupanya dosennya mempunyai rencana lain. Dosen si Combat yang di ITB punya kerja sama dengan University of Twente, Belanda, untuk melakukan penelitian. Dosen dia menawarkan sesuatu yang lebih menjanjikan, yaitu melakukan penelitian ke Belanda selama setahun. Tentu ini tidak sesuai dengan rencananya untuk segera lulus cepat dari ITB. Tetapi dosennya meyakinkan dia bahwa jika dia bisa mengerjakan penelitian dengan baik, ada kemungkinan dia mendapat beasiswa sampai S3.
Setelah pikir-pikir, akhirnya si Combat menerima tawaran dosennya dan berangkatlah ke Belanda selama setahun untuk melakukan penelitian.
Selesai penelitian, si Combat ternyata dilirik untuk ‘dikasih’ beasiswa hingga S3. Tetapi si Combat harus pulang ke Indonesia, untuk wisuda. Ya, karena dia belum wisuda. Kemudian dia pulang untuk wisuda dulu dan mendapat Ganesha Award. Suatu penghargaan tertinggi yang diberikan oleh kampus ITB kepada mahasiswanya yang berprestasi.
Selesai wisuda, si Combat kembali ke Belanda untuk melanjutkan studi S2 sekaligus S3-nya di University of Twente. Dia mendapat beasiswa untuk studi S2 sampai S3 selama 4 tahun. Selama dia melanjutkan sekolah di Belanda, saya hilang kontak lagi. Hanya sempat melihat namanya di sampul Buku Ayat-ayat Cinta cetakan pertama yang dibeli oleh suami saya. Kemudian tahu kabar dari kakak saya, yang kebetulan juga guru SMA kami, kalau si Combat ke sekolah. Ya, anak satu ini setiap kali pulang ke Lumajang, tidak lupa mampir ke SMA Negeri 2 Lumajang. Tempat dia belajar ketika SMA. Bukan untuk apa, hanya sekedar sowan ke guru-guru yang ada di sekolah kami.
Hingga akhirnya saya dapat sebuah email dari si Combat. Tetapi di belakang namanya bukan lagi @math.twente.nl, melainkan sudah menggunakan @math.umass.edu. Rupanya si Combat sudah lulus S3-nya di University of Twente kemudian dia ke Amerika untuk bekerja. Jadi begitu selesai S3, dia kerja di Jurusan Matematika di Universty of Massachusetts, Amerika.
Awal tahun 2007 dia akhirnya menikah dengan sarjana kedokteran dari Unibraw. Menikah dengan wanita yang belum pernah dia temui. Hanya ta’aruf lewat dunia maya. Istrinya sempat dibawa ke Amerika. Namun tahun 2008 menjadi dosen di University of Nottingham. Universitas terkemuka di Inggris di kotanya Robin Hood, Nottingham.
Si Combat itu adalah Hadi Susanto. Ya, Hadi Susanto yang dulu anak orang tidak punya. Hadi Susanto yang namanya ada di sampul depan buka Ayat-Ayat Cinta cetakan pertama. Dia kini menjadi dosen di Luar Negeri. Bahkan menjadi salah satu ilmuwan yang dikagumi di kalangan ilmuwan Indonesia. Tidak hanya dikagumi karena keilmuannya, tetapi juga tindak-tanduknya yang tetap rendah hati. Selalu menyempatkan ke SMA 2 Lumajang jika sedang balik ke Indonesia, dan juga menghubungi teman-teman SMAnya hanya sekedar makan-makan atau reuni kecil. Masih tetap menggunakan sepatu tentara buatan Indonesia dan juga celana yang itu-itu saja. Pun juga masih setia menggunakan bahasa Jawa dengan santun meski sudah sering mendapatkan berbagai award di berbagai seminar tingkat dunia.
Ilmu tinggi, penghargaan akademik dan menjadi dosen di universitas luar negeri, tidak juga membuat dia tinggi hati dan congkak. Sikap santunnya seperti ketika masih di SMA tidak juga berubah. Begitu juga dengan orangtuanya. Meski punya anak yang prestasinya luar biasa membuat beliau berdua tidak besar kepala dan masih tetap santun. Bukan model ‘kacang lupa akan kulitnya‘. Tetap santun dan rendah hati meski sudah sukses.
Semoga tetap istiqomah, tetap santun, menjadi guru yang patut ditauladani. Tetap berprestasi dan menjaga nama baik Indonesia dari sikap dan tindak tanduk yang santun juga bisa mengharumkan nama Indonesia meski dari Luar Negeri. Bukan dari Indonesia langsung. Seperti pesan Dosen S1-mu yang mengirimmu ke Belanda:
Meski tinggal di luar negeri, mungkin bisa lebih bermanfaat bagi bangsa kita walaupun dengan cara tidak langsung dan tidak kelihatan
No comments:
Post a Comment